Menilik Makna Selapanan

Aqiqah Nurul Hayat Biro Wiyung - Adat selapanan bayi banyak dikenal oleh masyarakat jawa. Tradisi ini berupa selamatan yang pada umumnya diselenggarakan pada waktu bayi telah berusia 35-37 hari (dino pitu pasaran limo), dan biasanya diisi dengan upacara pemotongan rambut bayi dan pemotongan kuku jari bayi. Ada juga yang menyandingkan dengan acara aqiqahan. Aqiqah merupakan ibadah sunnah Nabi SAW bagi bayi yang yang baru lahir sebagai bentuk syukur, yakni dengan menyembelih hewan (kambing).

Bagi sebagian masyarakat jawa (Muslim), melakukan upacara aqiqah bersamaan upacara selapanan dilakukan pada 35 hari setelah kelahiran bayi, dan pelaksanaannya disesuaikan dengan hari weton yang berasal dari penanggalan jawa, yaitu pon, wage, kliwon, legi, pahing. Sebagian juga ada yang melakukannya di hari ke- 40 kelahiran bayi.

Aqiqah Murah, Aqiqah Kotakan, Paket Aqiqah, Aqiqah Surabaya, Aqiqah Wiyung

 

Banyak makna dan pesan tersirat dari dilaksanakannya selapanan, walaupun dalam prakteknya ada juga yang perlu diluruskan. Misalnya, bahan-bahan yang digunakan dalam upacara selapanan. Penggunaan tumpeng, weton, sayur tujuh macam (semua boleh dipotong kecuali kangkung dan kancang panjang), telur ayam direbus sebanyak tujuh, sebelas, atau tujuh belas butir, cabai, bawang merah, bumbu tidak pedas, saringan santan dari bambu, buah-buahan sebanyak tujuh macam, pisang raja, kembang setaman, bubur tujuh rupa. Semua bahan-bahan yang dijelaskan diatas harus tersedia dan tidak boleh ada yang tertinggal. 

Semua dari hidangannya, bermuara dalam satu tujuan, yakni mengharapkan agar bayi selalu mendapatkan kebaikan serta dihindarkan dari bala'. Dalam hadits disebutkan;

Bahwa diantara upaya mencegah dari bala’ adalah dengan bersedekah, ini artinya dengan bentuk apa saja wujud sedekah seseorang telah tercakup dalam muatan hadits berikut;

الصدقة تسد سبعين بابًا من السوء

    “sedekah itu dapat menutup 70 pintu keburukan”. (HR, at-Thabrani)

 

Islam Mengakomodasi Adat

Adat atau tradisi yang dimaksud disini ialah adat yang tumbuh dan berkembang pada suatu komunitas, dan tidak terdapat dalam ritual syariah Islam,  pada masa Rasulullah SAW dan Sabahat. Adat atautradisi semacam ini adalah sah-sah saja. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. 

Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah). Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: Setiap sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim).

Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam. Menurutnya, dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi:  Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330)

Aqiqah Nurul Hayat Biro Wiyung - Tradisi atau adat Jawa memang harus selalu dilestarikan, tetapi dengan diimbangi dengan memahami dan mengerti tentang isi dari tradisi itu sendiri. Agar  kedepannya tidak terjerumus dalam kesesatan. Islam masuk di tanah Jawa melalui Walisongo, kemudian mengajarkannya dengan cara yang halus, melakukan akulturasi, disaat Hindu masih subur di tanah jawa. Simbol-simbol seperti peringatan 35 hari, 100 hari, merupakan angka-angka hindu, termasuk sesaji merupakan ajaran Hindu. Mungkin itu sebabnya, masih ada budaya atau ritual-ritual Hindu (kejawen) yang masih dipraktekkan hingga saat ini, termasuk selapanan.

Aqiqah Murah, Aqiqah Kotakan, Paket Aqiqah, Aqiqah Surabaya, Aqiqah Wiyung

 

Secara filosofi dalam budaya, selapanan sangat kuat dan termasuk hal yang menarik, serta perlu dilestarikan nilai-nilai yang baik didalamnya. Namun harusnya tradisi-tradisi yang kental dengan unsur mitos, dapat disikapi dengan keilmuan yang logis, dididiskusikan dengan khazanah islami (akan menghasilkan ijma ulama), agar nantinya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Bahkan yang paling parah, jika sampai menyebabkan Su’udhdhon (berburuk sangka ) kepada Allah SWT, akan terjadi kesialan, lantaran meyakini jika tidak melakukan adat-istiadat diatas.

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Boleh, Aqiqah Menggunakan Ayam ?

Sate Komoh Aqiqah Nurul Hayat, Selalu Bikin Nagih !